Home » Sejarah & Budaya » Bumi Manusia: Kontroversi Sejarah dan Adaptasi Film

Bumi Manusia: Kontroversi Sejarah dan Adaptasi Film

Film ‘Bumi Manusia’, yang adalah adaptasi dari novel tahun 1980 yang berjudul sama karya Pramoedya Ananta Toer, menyisakan sejumlah cerita di balik layar. Film garapan sutradara Hanung Bramantyo ini dirilis pada 15 Agustus 2019 lalu, dan pada acara Bali International Film Festival (Balinale) 2019, film ini menjadi film penutup segala rangkaian acara Balinale pada Sabtu (28/9/2019).

Dalam penutupan Balinale 2019 yang berlangsung di Cinemaxx Sidewalk Jimbaran ini, hadir sutradara film ‘Bumi Manusia’, Hanung Bramantyo bersama aktris Sha Ine Febriyanti yang berperan sebagai Nyai Ontosoroh di film tersebut. Hanung dan Sha Ine Febriyanti juga menerima peluang untuk mengobrol mengenai pengerjaan pembuatan film berlatar masa kolonialisme oleh Belanda ini.

Hanung mengaku, dirinya adalah generasi pembaca karya-karya Pramoedya yang membaca secara membisu-membisu sebagai akibat dari pelarangan buku ini pada 1981, karena dianggap menyebarkan mengerti Komunis. Pramoedya sendiri sesungguhnya slot bet 100 rupiah memulai penulisan novel ini pada tahun 1973 di mana pada ketika itu Pramoedya sedang mendekam di penjara. “Cerita ini berawal dari Pramoedya yang menceritakan kisah-kisah tentang orang pribumi dan Belanda pada rekan-rekannya sesama tahanan,” tutur Hanung.

Dalam pembuatan film ini, Hanung menerima jumlah kritik yang tidak sedikit. Rata-rata, kritik berkonsentrasi pada pemilihan pemeran film pria yang berperan sebagai Minke, tokoh utama dalam film ini yang diperankan oleh pemeran film pria muda Iqbaal Ramadhan.

“Tiap generasi pembaca memiliki persepsi yang berbeda mengenai karakter Minke. Generasi 90-an memiliki bayangan seorang Rano Karno dalam Minke. Untuk generasi milenial, kita menghadirkan Iqbaal Ramadhan. Ini menuai protes dari generasi 90-an itu. Generasi 90-an, seperti saya, adalah generasi yang membaca karya-karya Pramoedya secara membisu-membisu, dan juga generasi yang paling banyak protes kepada pemilihan aktornya,” ungkap Hanung.

Adapun sebagai salah satu aktris yang berperan dalam film ini, Sha Ine Febriyanti, menyuarakan, dirinya senang bisa memerankan tokoh Nyai Ontosoroh. “Sejak pertama kali saya membaca novel Bumi Manusia, saya kagum-kagum dengan tokoh Nyai Ontosoroh yang memiliki karakter yang kuat. Aku waktu itu mau, apabila Bumi Manusia diciptakan film, saya bisa menjadi pemeran tokoh Nyai, dan akibatnya terkabul,” kenang Ine Febriyanti.

Dalam memerankan tokoh Nyai, aktris kelahiran tahun 1976 ini seharusnya menilik sejarah seorang Nyai, yang pada jaman dulu adalah julukan bagi wanita pribumi simpanan orang Belanda yang memiliki derajat yang rendah. “Sebelum memulai pengerjaan pembuatan film, Hanung memberi saya sebuah buku yang mengulas tentang sejarah Nyai. Jadi meskipun karakter Nyai yang saya perankan berbeda dengan keadaan para Nyai yang sesungguhnya, saya konsisten seharusnya mempelajarinya agar mengerti bagaimana kehidupan seorang Nyai pada masa itu,” ujar Ine Febriyanti.

Sedangkan dipenuhi dengan kontroversial sejarah, kritik, dan promosi yang diukur kurang maksimal, film yang memakan budget sampai Rp 30 miliar ini berhasil menuai 1,4 juta penonton. Hanung malahan mengatakan, bahwa dirinya tertarik untuk menggarap sekuel-sekuel novel ‘Bumi Manusia’, yang secara sempurna adalah Tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari 4 novel, adalah Bumi Manusia, Kecil Seluruh Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.