Home » Sejarah & Budaya » Konsep Kekerabatan Bahasa dan Kultur dalam Masyarakat Demokratis

Konsep Kekerabatan Bahasa dan Kultur dalam Masyarakat Demokratis

Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati tiap-tiap tahunnya di dunia pada tanggal 21 Februari. Perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional diselenggarakan untuk mempromosikan kesadaran akan keaneka-ragaman bahasa dan adat istiadat, serta untuk mempromosikan multi bahasa.

Pada mulanya, pandangan baru untuk merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional yaitu inisiatif dari Bangladesh yang disetujui pada Konferensi Lazim UNESCO 1999 dan sudah dilihat di seluruh dunia semenjak tahun 2000. Deklarasi tersebut muncul sebagai penghormatan kepada Gerakan Bahasa yang dilaksanakan oleh orang Bangladesh (ketika itu orang Pakistan Timur) (tirto.id, 15/2/2021).

Pada tahun 1948, Pemerintah Pakistan ketika itu mendeklarasikan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa nasional Pakistan, padahal bahasa Bengali atau Bangla diaplikasikan oleh mayoritas masyarakat di Pakistan Timur, yang kini menjadi negara Bangladesh. Rakyat Pakistan Timur memprotes, karena mayoritas penduduknya berasal dari Pakistan Timur dan bahasa ibu mereka yaitu Bangla. Orang Bangladesh waktu itu menuntut Bangla menjadi setidaknya salah satu bahasa nasional, selain Urdu (tirto.id, 15/2/2021).

Hari Bahasa Ibu Internasional yaitu hari libur nasional di Bangladesh. Resolusi tersebut direkomendasikan oleh Rafiqul Islam dan Abdus Salam, Bengali roulette yang tinggal di Vancouver, Kanada. Mereka menulis surat kepada Sekjen PBB Kofi Annan pada 9 Januari 1998, dan memintanya mengambil langkah untuk menyelamatkan bahasa-bahasa dunia dari kepunahan dengan mengumumkan Hari Bahasa Ibu Internasional. Dalam mandatnya untuk penentraman, Hari Bahasa Ibu Internasional diinginkan berprofesi untuk melestarikan perbedaan adat istiadat dan bahasa yang menumbuhkan toleransi dan rasa hormat kepada orang lain (tirto.id, 15/2/2021).

Seiring berkembangnya zaman, kita semakin memperhatikan bahwa pengajaran multi bahasa yaitu sesuatu yang penting, dengan konsisten melestarikan bahasa ibu. Masyarakat multi bahasa dan multikultural hadir melalui bahasa mereka yang menyebarkan dan melestarikan pengetahuan dan adat istiadat secara berkelanjutan. Keaneka-ragaman bahasa tidak bisa dipisahkan dari keanekaragaman adat istiadat. Ditinjau dari segi adat istiadat, bahasa termasuk aspek adat istiadat. Kekayaan bahasa yaitu sesuatu yang menguntungkan. Beraneka bahasa itu akan merefleksikan kekayaan adat istiadat yang ada pada masyarakat pemakainya (multikultural).

Berdasarkan Koentjaraningrat, bahasa yaitu komponen dari kebudayaan. Kekerabatan antara bahasa dan kebudayaan yaitu kekerabatan subordinatif. Suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada anggapan lain yang mengungkapkan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai kekerabatan yang koordinatif, yaitu kekerabatan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi (Koentjaraningrat, 1992).

Masinambouw menyebutkan bahwa, bahasa dan kebudayaan dua cara yang menempel pada manusia. Kebudayaan itu yaitu satu cara yang mengontrol interaksi manusia di dalam masyarakat, karenanya kebahasaan yaitu suatu cara yang berfungsi sebagai sarana dalam (Chaer, 1995).

Dalam hipotesis itu, dikemukakan bahwa bahasa bukan cuma memastikan corak adat istiadat, tapi juga memastikan cara dan jalan pikir manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan memilki corak adat istiadat dan jalan pikiran yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan adat istiadat dan jalan pikiran manusia tersebut bersumber dari perbedaan bahasa. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, karenanya ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan terefleksi pada sikap dan adat istiadat penuturnya.

Umpamanya, dalam bahasa Barat ada cara kala, yaitu penutur bahasa memperhatikan dan terikat waktu. Umpamanya, pada musim panas pukul 21.00 sang surya masih bersinar dengan terang, tapi buah hati-buah hati karena sudah menjadi adat istiadat disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada cara kala, menjadi tidak memperhatikan waktu, seperti acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu jam. Itulah sebabnya istilah jam karet cuma ada di Indonesia.

Keterkaitan kekerabatan dan peran bahasa dengan adat istiadat, tentu ada beberapa kalangan tertentu yang tidak bisa menerima perbedaan. Sekiranya seseorang atau satu golongan nekat menjadi yang berbeda, konsekuensinya yaitu kemungkinan untuk diintimidasi, didiskriminasi, atau malah dipersekusi. Mereka yang berani tampil “beda” bisa kehilangan hak untuk mengoptimalkan potensi diri, merasakan fasilitas negara yang umum, sampai menjajaki karier.

Sedangkan, kalau kebudayaan-kebudayaan yang ada dipaksa untuk menjadi satu (forced diversity), akan terjadi perpecahan yang tidak diinginkan. Perpecahan yang dimaksud di sini yaitu distorsi kebudayaan, yaitu memutarbalikkan fakta, pengabaian hukum, hukum, skor-skor dan sebagainya, yang tujuannya untuk memperoleh keuntungan golongan tertentu atau pribadi. Distorsi juga bisa bermakna perubahan wujud atau sikap dampak beberapa elemen luar yang tidak diinginkan.

Beraneka problematika kemajemukan masyarakat yang ada, memberi tantangan bagi kita untuk secara kreatif dan cerdas kita mampu mengelola kemajemukan adat istiadat yang dimiliki, sehingga terbangun kehidupan masyarakat yang demokratis, maju dan modern dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat global tanpa tercabut dari akar adat istiadat. Kehidupan masyarakat yang sedemikian itu, membutuhkan warga masyarakat yang mempunyai kompetensi, yang oleh Mikel Hogan Gracia disebut sebagai kompetensi keragaman adat istiadat atau cultural diversity competence (wantimpres.go.id, 5/10/2016). Dengan demikian, diinginkan kita bisa membangun adat istiadat yang saling menghargai, menerima keragaman adat istiadat yang ada, dan berinteraksi secara harmonis dalam hidup bersama untuk bersama-sama hidup.